Bisnis.com, YOGYAKARTA - Perjalanan “Batik Yogya” tidak dapat lepas dari peristiwa bersejarah di sebuah desa bernama Giyanti pada 1775. Ketika itu, sebuah perundingan berlangsung dan menghasilkan kesepakatan pembagian wilayah Mataram menjadi dua, yakni wilayah Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kesepakatan yang kemudian dinamai Perjanjian Giyanti itu menetapkan wilayah Surakarta di bawah kepemimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono II dan wilayah Ngayogyakarta di bawah kepemimpinan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Ndalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I.
Semua pusaka dan benda-benda kraton juga dibagi dua. Busana Mataram diboyong ke Ngayogyakarta atas kehendak Pangeran Mangkubumi untuk melestarikannya. Oleh karena itu, Sri Susuhunan Pakubuwono II pun merancang tata busana baru sebagai pakaian adat Kraton Suratakarta yang berbeda dengan busana Yogya.
Ada dua macam latar atau warna dasar kain yang menjadi ciri khas gaya batik Yogyakarta, yakni putih dan hitam. Sementara warna batiknya sendiri bisa putih, bisa biru tua kehitaman, atau cokelat saga. Sejak pertama sudah ada kain larangan karena setiap sultan yang bertakhta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan. Oleh karena itu, muncul motif-motif batik yang hanya dapat digunakan oleh raja, anak raja, trah raja, abdi dalem, dan masyarakat biasa.
Awalnya, motif-motif batik masih terbatas. Ada motif Parang yang melambangkan keberanian dan dinamika hidup, ada motif Ratu Ratih yang melambangkan cinta kasih, ada motif Kawung yang melambangkan kesucian dan ketulusan, ada motif Sisik yang melambangkan keterikatan yang indah, juga motif Gringsing yang melambangkan keterbebasan dari penyakit.
Semakin lama, motif batik pun berkembang. Pernahkah terpikir untuk melihat koleksi kain batik yang hadir pada abad 19 dan 20 M? Atau bahkan penasaran dengan kain batik yang dibuat pada 17 dan 18 Masehi?
Nah, semua itu - sejarah tentang kemunculan batik dan perkembangannya, koleksi kain batik beragam motif, hingga berbagai alat kelengkapan membatik seperti canting dan cap, dapat dijumpai di Museum Batik Yogyakarta di Jl. Dr. Sutomo, Jogja.
Sejak resmi berdiri pada 1978, Museum Batik Yogyakarta telah menjadi rumah bagi lebih dari 1.000 koleksi batik beragam macam, mulai dari batik pedalaman (klasik) dan batik pesisir (pesisir selatan – utara).
Berawal dari kegundahan Hadi Nugroho yang melihat banyaknya kain batik lawas dan berkualitas yang dipotong-potong untuk keperluan garmen dan diekspor ke luar Negeri pada medio 1960 – 1970, maka Hadi dan istrinya, Dewi Sukaningsih, pun berkomitmen mendirikan sebuah museum batik. Ia pun mulai berburu batik, termasuk batik-batik koleksi keluarga dan kerabat.
Pada 1978, ketika jumlah batik yang terkumpul dinilai cukup, Hadi yang merupakan generasi keempat dari keluarga batik itu pun mendirikan Museum Batik Yogyakarta.
Kini, koleksi Museum Batik Yogyakarta telah berkembang hingga mencapai lebih dari 1.700 koleksi. Tidak semua koleksi tersebut dipamerkan. Pengelola Museum Batik Yogyakarta umumnya hanya memamerkan sejumlah tertentu secara bergiliran, sesuai dengan tema yang diangkat. Dalam satu waktu, ujar Pengelola dan Kurator Museum Batik Yogyakarta Prayogo, biasanya hanya sekitar 100 – 200 koleksi yang dapat dipamerkan. Selebihnya disimpan dan menunggu giliran untuk dipamerkan.
Wajar saja, sebab ruang pamer yang hanya seluas 400 m2 tidak cukup untuk memajang seluruh koleksi kain batik yang total berjumlah lebih dari 1.700 itu. Belum lagi, museum ini juga memamerkan hal-hal lainnya yang terkait dengan batik, seperti aneka ragam canting dari masa ke masa, aneka ragam bentuk cap, sejarah perkembangan batik dari masa ke masa di berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo hingga Lampung, dan beragam koleksi sulaman dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Proklamator Soekarno dan Bung Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, hingga Mantan Presiden AS Ronald Reagan.
Tidak kurang dari 400 jenis cap yang dimiliki museum ini, mulai dari cap berbahan kayu hingga tembaga. Koleksi canting mulai dari replika awal canting sampai canting yang dikembangkan oleh Jerman dan Perancis. Juga alat kemplong untuk mempersiapkan kain supaya lebih mudah menyerap warna, alat press, alat untuk mencelup, hingga alat untuk mbabar.
Namun bukan hanya melihat-lihat koleksi kain batik itu yang bisa kita lakukan di museum ini. Sebab, selain menyimpan koleksi, Museum Batik Yogya juga menyediakan fasilitas untuk belajar membatik. Pengunjung dapat melihat koleksi batik, menyaksikan para staf museum membatik dan mewarnai batik, juga ikut belajar membuat batik sendiri.
Hanya saja, ketika penulis berkunjung ke museum itu pada Rabu (28/10), aktivitas membatik yang terlihat di showroom di bagian uatara bangunan museum itu hanya yang dilakukan oleh para staff. Kebetulan ketika itu tidak terlihat aktivitas belajar membatik oleh pengunjung.
Beberapa jam sebelumnya memang ada kunjungan dari sebuah sekolah menengah kepariwisataan di Bantul. Ratusan siswa dari sekolah tersebut memadati museum. Hanya saja paket yang mereka ambil adalah tour keliling museum tanpa paket tambahan belajar membuat batik sendiri.
Kepala Museum Batik Yogyakarta Suharyanto mengemukakan sejak beberapa tahun terakhir, terutama sejak pemerintah mulai memberikan perhatian terhadap kelestarian batik, pihaknya memang cukup sering menerima kunjungan siswa sekolah. Para siswa umumnya datang dalam kelompok dengan jumlah besar, dibimbing oleh guru mereka.
Namun demikian, ia juga menerima kunjungan perorangan. Setiap orang yang ingin melihat-lihat isi museum cukup membayar Rp20.000. Jika ingin belajar membatik, maka cukup membayar Rp25.000 per jam akan mendapatkan kain dan pelajaran membatik.
Hanya saja, minat masyarakat, khususnya anak-anak muda, untuk belajar tentang batik masih rendah. Hal itu terlihat dari rendahnya angka kunjungan perorangan yang hanya terdiri dari grup kecil beranggotakan 1 - 5 orang.
Menurut dia, meskipun kunjungan grup dalam jumlah besar lumayan sering, seperti kunjungan siswa SMP atau SMA/SMK, namun sebagian besar pengunjung dalam rombongan tersebut memiliki ketertarikan rendah.
"Terlihat dari perilaku mereka yang hanya keliling, lihat-lihat, selfie, sudah. Hanya sebagian kecil yang memang ada interest. Kalau yang interest biasanya banyak bertanya," katanya kepada Harian Jogja, Rabu (29/10/2014).
Sementara itu, tipikal pengunjung perorangan adalah mereka yang memang tertarik mengetahui lebih dalam seluk beluk batik. "Mereka biasanya lebih banyak bertanya dan ujung-ujungnya tertarik belajar membatik. Mereka juga lebih tertib. Tapi jumlahnya sedikit. Lihat saja dari buku tamu, jumlah pengunjung ini [perorangan] dalam sehari paling cuma satu atau dua orang. Itu juga tidak setiap hari," katanya.
Dia menyayangkan rendahnya minat generasi muda mengunjungi museum batik. Sebab, ujarnya, dengan melihat benda-benda museum, khususnya batik, generasi muda dapat mengenali tata kehidupan masyarakat pada zaman tertentu. "Jadi anak dididik untuk flash back," katanya.
Yanto mengakui tidak banyak laba yang diperoleh dari pengelolaan museum yang telah berdiri selama lebih dari 35 tahun ini. Namun demikian, mengelola museum batik adalah komitmen keluarga secara turun temurun. Oleh karena itu, setelah ditinggalkan oleh Hadi sang ayah, Yanto pun meneruskan mengelola museum batik.
"Buat saya, museum adalah gudang ilmu. Perpustakaan tapi wujudnya barang. Ini [museum] sudah komitmen. Makanya kami juga mengoperasikan hotel di sisi samping museum untuk mendukung ini [museum]," ujarnya.
Yanto mengaku senang dengan penetapan Jogja sebagai Kota Batik Dunia oleh Dewan Kerajian Dunia atau World Craft Council (WCC) pada Oktober lalu. Namun demikian, dia menilai penetapan Jogja sebagai Kota Batik Dunia sesungguhnya terlambat.
"Menurut saya terlambat. Seharusnya sudah dulu-dulu dinyatakan bahwa Jogja sebagai kota batik. Latar belakang Batik Yogya kuat. Motif, corak, filosofi, kreativitas aplikasi, itu tinggi, unggul. Kerajaan juga kita masih punya. Menurut saya terlambat."
Namun demikian, dia tetap menyambut positif penetapan tersebut. Sebab, lanjutnya, Jogja memang layak menjadi Kota Batik Dunia. Namun, sebuah pekerjaan rumah tetap tersemat di pundak warganya, yakni menghargai dan melestarikan batik dengan cara rajin menggunakannya dalam aktivitas sehari-hari.