Deru mesin diesel perahu kelotok mulai terdengar, ketika kami berdiri di pelataran rumah panggung di tepian Suangai Lamandau. Beberapa saat kemudian, perahu tersebut mendekat ke arah kami. Sesampainya di persandaran, satu persatu dari kami bergegas menuju perahu berdimensi 8 meter x 1 meter itu.
Begitu seluruh rombongan yang berjumlah sekitar 10 orang berada di perahu kelotok itu, jam di tangan menunjukan pukul 11.00 WIB. Sinar matahari tidak lagi menyengat dengan panasnya lantaran terhalang awan mendung. Sepertinya bersiap-siap hujan akan turun.
Salah seorang di antara kami lantas bertanya soal mengantisipasi hujan selama perjalanan. Alasannya, perahu kelotok ini tidak dibekali atap pelindung.
Pria paruh baya, panggilan akrabnya Pak De meminta tak usah mengkhawatirkan hal tersebut. “Paling kalau hujan ya kebasahan,” tuturnya sambil bercanda.
Dia bukan warga sekitar melainkan aktivis lembaga swadaya masyarakat setempat. Dalam kesempatan ini, dia bertugas layaknya pemandu wisata.
Setelah semuanya siap, perahu pun meluncur. Tujuan kami siang itu adalah Suaka Margasatwa Sungai Lamandau di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mendengar kata suaka margasatwa, yang terlintas di pikiran adalah kawasan tempat bermukim satwa-satwa liar endemik Kalimantan.
Namun, sebelum masuk ke Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, perahu kami terlebih dahulu melewai area hutan penyangga. Wilayah ini didominasi oleh hutan rawa gambut dengan kedalaman gambut rata-rata 134 cm.
Mungkin inilah hutan perawan yang masih tersisa. Sebab area ini merupakan hutan bergambut yang masih mempunyai tutupan vegetasi yang baik di Kabupaten Kotawaringin Barat.
Selain kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, hutan mangrove di wilayah pesisir dan ekosistem lamun di Perairan Senggora-Sepagar di Kabupaten Kotawaringin Barat, hutan di sini berperan penting sebagai kawasan penyimpan karbon emisi karbon.
Kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau diproyeksikan menjadi ekowisata seperti Taman Nasional Tanjung Puting. Adapun sajian utamanya adalah ekosistem hutan rawa gambut beserta satwa-satwa liar yang menghuninya.
Untuk menuju kesana, pengunjung terlebih dahulu masuk melalui sungai di Desa Tanjung Putri. Satu-satunya cara untuk menjangkau kawasan itu adalah perahu kelotok karena perahu berbadan kecil ini dapat menyusuri jalur sungai kecil.
Setelah bermeter-meter lepas sandar, perahu kami mulai memasuki area kawasan hutan penyangga. Di tepian sungai yang tersaji hanyalah pepohonan.
Salah satunya nipah. Pohon yang memiliki daun seperti pohon kelapa ini tumbuh liar di sepanjang sungai. Oleh warga sekitar pohon ini biasa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Buahnya bisa dijadikan pengananan. Adapun lidinya dapat dikreasikan menjadi sapu.
Semakin dalam perahu kami memasuki kawasan ini, air sungainya tidak lagi cokelat melainkan hitam pekat. Menurut Pak De, hitamnya air sungai ini disebabkan oleh gambut bukan pencemaran. Setidaknya hal ini menjawab rasa penasaran saya mengani hitamnya air sungai di sini.
Penuh Misteri
Suguhan hutan rawa di hutan penyangga ini, mengingatkan saya pada tayangan-tayangan film dokumenter di Sungai Amazon, Amerika. Liar dan penuh misteri. Sungai-sungai di Amazon dipenuhi buaya. Begitu juga dengan sungai-sungai di Kalimantan.
Memang antara Amazon dan Kalimantan sama-sama memiliki hutan hujan tropis yang senantiasa lembap dan basah. Hutan jenis ini adalah rumah baik flora maupun fauna.
Beranekaragama flora di sungai ini seakan memandangi kami sebagai tamu yang berisik. Suara klotok-klotok seakan memecah kesunyian rimba tanah Borneo ini. Mungkin saja membangunkan para penghuninya.
Pak De mengatakan, kawasan ini baru hutan penyangga Suaka Margasatwa. Jika sudah mendekati area Suaka Margasatwa, kerapatan pepohonan itu semakin menjadi-jadi. Suangai menjadi sempit oleh pepohonan.
Selain suguhan flora, dalam perjalanan ini terlihat beberapa jebakan ikan yang dipasang oleh masyarakat. Berbentuk kotak dengan jaring yang membungkusnya. Pak De mengatakan, jebakan itu digunakan oleh masyarakat untuk mencari ikan-ikan penghuni sungai seperti toman, lais, dan baung.
Menariknya jebakan ini cuma mengambil ikan-ikan yang berukuran besar. Sementara ikan-ikan kecil atau ikan muda akan lolos. Hal ini memungkinkan ikan-ikan tersebut dapat berkembang. “Jadi sangat ramah sekali cara penduduk menangkap ikan di sini,” tuturnya.
Tak lama, Pak De pun menepuk pundak saya dan mengarahkan jarinya ke arah pepohonan. Di antara ranting-ranting pohon itu terdapat gundukan dedaunan. Di situlah, rumah orang utan. Sayang, hari itu para penghuninya seperti sudah lama meninggalkan rumah. Tandanya, dedaunan pada gundukan itu kering.
Bila masih ditempati, umumnya dedaunan itu masih basah dan segar. Dalam habitatnya, primata ini tidak menetap dalam satu tempat melainkan berpindah-pindah. Cara itu dilakukan oleh orang utan untuk mencari makan.
Pak De ini mengingatkan kemunculan hewan liar itu tidak dapat diprediksi. Bila beruntung, maka kami bisa melihat orang utan. Namun, katanya, orang utan di sini merupakan satwa liar berbeda dengan orang utan di Tanjung Puting. Di kawasan itu, kebanyakan orang hutan merupakan hasil sitaan dari masyarakat.
Lama kami mengamati sekitar, primata tersebut tidak menampakan wujudnya. Barangkali kami belum beruntung.
Meski begitu, kami disambut oleh penghuni lainnya. Mereka adalaha bekantan, kera berhidung mancung. Beruntung, sekilas kami melihat empat bekantan yang nangkring di atas pohon. Mereka seakan mengetahui keberadaan perahu kami tetapi tak beranjak dari tempatnya.
Jalur sungai yang kami susuri mulai menyempit oleh pepohonan. Pak De mengatakan, artinya sudah mendekati kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau. Perkiraaannya, sekitar 15 menit lagi tiba di kawasan tersebut.
Saya pun mengutarakan pertanyaan kepada Pak De soal buaya-buaya penghuni sungai. Dia mengungkapkan buaya-buaya itu biasa bernaung di bawah tumbuhan-tumbuhan air di tepian sungai. Tangannya sambil menunjuk tumbuhan air di sisi perahu yang kami tumpangi.
Tiba-tiba butiran air berjatuhan dari langit. Hujan pun turun tanpa bisa ditawar. Perjalanan kami menuju Suaka Margasatwa terpaksa tidak dilanjutkan karena khawatir terjebak di sungai. Sementara langit mulai gelap. Akhirnya bapak pengemudi kapal memutar perahunya.
Benar saja, hujan semakin deras. Sebagian penumpang berlindung di balik alas terpal. Sementara sebagian lainnya termasuk saya turut kebasahan karena tak ada sesuatu yang dapat dijadikan untuk menahan air hujan.
Perjalanan kami berakhir. Keinginan untuk berjumpa orang utan di alam liar terpaksa tertunda. Sajian rimba Kalimantan dan cerita di baliknya adalah pengalaman tak terlupakan.